"Dan aku berlari mengejar suara itu sepanjang jalan dengan harapan bisa mengikuti karangan bunga indah dari tubuh-tubuh yang naik mengambang di atas kota dan aku menyadari dengan kesedihan mendalam di hatiku bahwa mereka terbang seperti burung dan aku jatuh seperti batu, bahwa mereka punya sayap dan aku tidak akan pernah punya sepotong pun." – halaman 114, KITAB LUPA DAN GELAK TAWA oleh MILAN KUNDERA.
Ada serangkaian perdagangan peristiwa yang terjadi di sini. Kita adalah pribadi yang terburu-buru, pribadi yang berpura-pura, pribadi yang khawatir, pribadi yang pemarah, pribadi yang berprasangka, pribadi yang perasa, pribadi yang tidak ingin dikatakan lemah, pribadi yang tidak mengakui sebagian dari kebenaran karena alasan tertentu, dan pribadi yang diam tidak mengatakan sepenggal kalimatpun ketika sedang kesal; atau bisa jadi pribadi pembentak dalam diam. Kita adalah pribadi yang buruk. Memarahi semua keadaan dan menilai semua itu adalah penyiksaan kehidupan; penyiksaan alam; penyiksaan Tuhan. Setidaknya bagiku begitu.
Kita semua menderita oleh teori-teori hidup yang kita buat sendiri. Sebagian orang memakinya dengan sangat keras, sebagian lagi membuat luka-luka itu menjadi sangat dinikmati seperti sepenggal paragraf di atas, dan sebagian yang lainnya memaknainya dengan cara yang berbeda-beda. Kita semua memberi panggung kepada luka-luka yang kita buat sendiri. Manusia memang luar biasa dalam hal ini.
Bahwa selama ini kita memahami sesuatu yang tidak ada, bahwa selama ini kita membuat teori ilusi.
Seperti ketika di sini, ada sembilan meja dan lima diantaranya diisi oleh pelanggan cafe ini. Dua meja diisi oleh kelompok dan tiga diantaranya hanya diisi oleh orang-orang yang menciptakan dunia dalam realitas dunia.
Di dalam satu ruangan yang tidak terlalu luas, manusia mampu menciptakan realitas lain dalam pikirannya, mampu menciptakan perasaan yang lain dalam hatinya. Tidak terlalu mengherankan jika kita kesulitan memahami orang lain; memahami diri kita sendiri. Seperti yang dikatakan dosen matakuliah Budaya Organisasi, untuk memahami seseorang kita perlu melakukan penelitian secara mendalam, kita harus memahami dan meneliti seseorang melalui pendekatan-pendekatan ilmiah, karena manusia juga makhluk biologis, yang itu artinya adalah kita sesuatu hal yang ilmiah.
Kita menciptakan budaya atas respon manusia terhadap lingkungannya. Manusia sudah ditakdirkan untuk memenuhi sendiri kebutuhannya, sudah begitu seharusnya. Namun menariknya dari hidup ini adalah kita diperbolehkan membuka banyak pintu dunia. Kau bisa memilih banyak kehidupan yang kau mau, seperti, semua ini merupakan hadiah cuma-cuma dari langit, jika dianalogikan seperti salju yang turun ke tanah, lalu kemudian kita bisa membuat apapun dari mereka. Kita diberi kebebasan untuk melakukan segalanya. Itulah realitas ilusi kita.
Bahwa yang sesungguhnya adalah aku menyadari secara diam-diam bahwa aku tidak memiliki suatu apapun untuk terbang, dan akan terjatuh seperti batu. Bahwa yang sesungguhnya adalah tidak ada pengertian sepenuhnya atas diri dalam realitas dari diri dalam imajinasi yang tak henti-hentinya bermain untuk melengkapi kerusakan atas realitas masing-masing peristiwa. Bahwa sesungguhnya adalah mata ini tidak pernah benar-benar terbangun dari penglihatannya, dan bahwa sesungguhnya aku tidak pernah benar-benar mengerti mengenai sesuatu. Dan aku adalah seorang praduga yang mapan dalam jabatannya. Aku adalah pencipta ilusi atas penderitaan yang aku buat sendiri. Aku adalah lotus itu.
Menilik Realitas Ilusi dalam Hidup Kita Selama Ini
read more
0 comments:
Post a Comment