Bus melaju cepat di jalan tol kilometer dua puluh sembilan dari arah kota Surabaya menuju kota Malang. Malam itu udara dingin sekali, ditambah suhu AC di bus yang menambah menggigil sampai gigi bergetar sendiri. Yose mulai memperketat jaket kulit peninggalan ayahnya, kemudian mendekatkan badannya di samping jendela bus mencari celah sesempit mungkin berharap kehangatan walaupun sedikit, sesekali ia juga meminum kopi hitam pekat yang dibawanya dari rumah, dia sebenarnya tipe orang yang tidak senang minum kopi, tapi entah kenapa perjalanannya kali ini ia sempatkan sendiri membuat kopi sebagai bekal dahaganya nanti.
Yose mulai melirik jam tangannya, Jam mulai menunjukkan pukul setengah lima pagi, kira-kira satu jam lagi akan tiba di terminal. Satu jam di dalam bus banyak pilihan di pikirannya. Namun dia memilih tidur, lalu terlelap.
Terik matahari pagi tak terasa membangunkannya tiba-tiba. Bus yang semula melaju cepat kini sedikit mengurangi kecepatan. Yose terbangun, matanya yang masih layu dia buka pelan-pelan. Kemudian memanggil kondektur bus,
“Pak, saya turun di halte” ungkap Yose
“iya mas, persiapan. Sebentar lagi sampe di halte” jawab kondektur
Yose kemudian bergegas menyiapkan barang-barang bawaanya. Dia lebih memilih turun di halte berniat lebih cepat mendapatkan angkot tujuan. Begitu turun dari bus, sinar senja pagi itu sedikit menghangatkan badannya, bercampur hawa dingin menguap seakan menjelma asap rokok ketika dia bernafas.
Semalam suntuk berada dalam bus, tidak bergerak memang, namun tetap menguras tenaga, merasakan lelah, mengapa? Ini pertanyaan yang belum sempat terjawab oleh yose sendiri dalam beberapa perjalanan beberapa tahun terahir. Beberapa hari terahir ada banyak info mengenai musim pancaroba yang marak terjadi saat ini, tidak ada hubungannya memeng dengan rasa lelahnya, namun yose berusaha mengaitkannya sebisa mungkin, walaupun salah tapi setidaknya dia berusaha mencarikan jawaban dari kegelisahannya, dan itu terbukti cukup memuaskan.
Matahari hari itu cukup bergerak cepat, panasnya semakin menyengat kulit yang belum bisa melepas rasa dingin ac bus tadi. Hal ini semakin membuat yose semakin lelah, mungkin lapar, iya lapar pikirnya kuat.
Tidak bisa dielakkan lagi pandangannya saat ini hanya tertuju pada makanan dan minuman dingin sebagai penutupnya. Kebanyakan orang mengatakan pagi hari cocoknya adalah sarapan, namun, Baginya istilah sarapan tidak ada dalam kosakata. Istilah sarapan terlalu megah disandingkan dengan gaya hidup anak kampung sepertinya. Dia tetap mengatakan bahwa sarapan adalah makan pagi, karena kebiasaan makanan pagi sama saja seperti makan siang atau malam, sama-sama beratnya.
Ada banyak warung makan yang berjejeran pas disamping halte ditempatnya turun, tanpa pikir panjang diapun langsung menuju warung makan paling dekat dengan halte.
Tiba-tiba Yose terkejut. Cukup beberapa menit saja dia di halte, baru terlihat ada kakek pengemis duduk tersimpuh di pojokan halte. Bajunya lusuh kehitaman sehingga hampir tidak bisa ditebak warna dasar bajunya. Memakai celana kain kusut yang warnanya juga hampir sama dengan warna permukaan tanah halte. Kulitnya hitam keriput dengan beberapa bekas luka dan jahitan di lengannya. Ini mungkin beberapa cerita lumrah yang dapat dijumpai pengemis dimanapun. Ada yang membuat Yose memaksakan hatinya untuk terkejut, terkejut dengan keanehan, kemirisan apa yang dilihat terhadap pengemis dihadapannya. Menurutnya kakek pengemis ini aneh, ada setumpuk kembang dan beberapa bunga disamping kakek ini, sambil menangis tersedu-sedu kakek ini menadahkan tangan memegang kaleng berharap belas kasih para pejalan kaki trotoar dan pengunjung halte. Sesekali dia menabur kembang ke jalan, kemudian menabur bunga setelahnya, terus menerus seperti itu. Melihat kejadian ini yose sampai lupa saat itu dia sedang lapar, nafsu makannya seakan dikenyangkan oleh kakek pengemis.
Yose penasaran apa yang harus dilakukan terhadap kakek pengemis ini, sepertinya dia terlalu apatis kalau hanya memberikan beberapa uang disaku, kakek pengemis ini terlalu sayang kalau hanya dikasihani, selebihnya yose ingin tahu apa penyebab kakek pengemis ini menangis serta menabur bunga kejalanan.
“nak” suara keras terdengar
“nak” suara keras terdengar kembali dari arah yang sama
Aku baru sadar kalau panggilan ini tertuju padaku saat panggilan ketiga kalinya
“hei nak, yang pakek baju hitam”
Ternyata seorang ibu penjaga warung sebelah halte yang memanggilku.
“Iya buk” jawabku
“ada yang bisa saya bantu” tambah jawabku lagi
“Ke sini” ibu menjawab kembali sambil melambaikan tangan seraya menyuruh untuk menghampiri.
Dalam keadaan masih bingung, tanpa piker panjang yosepun langsung menghampiri ibu penjaga warung yang daru tadi memanggilku dengan nada serius, tak lupa juga yose memberikan beberapa uang terhadap kakek pengemis setelahnyapun beranjak.
“Iya buk, ada apa?”
“Kamu lapar kan?” Tanya ibu penjaga warung
“loh, ibu kok tau?” Tanya yose heran
“Masuk dulu, nanti ibu ceritakan”
Belum habis rasa penasarannya terhadap kakek pengemis halte itu, Yose pun bertambah bingung dengan tingkah laku ibu penjaga warung. Dia pun masuk kedalam warung sederhana milik ibu itu, didalam warung belum ada pelanggan yang datang, hanya seorang laki-laki yang sedang mempersiapkan beberapa gorengan di meja makan. Yose kemudian duduk di kursi dekat pintu berharap dia masih bisa melihat apa yang dilakukan oleh kakek pengemis dihalte. Tak lama kemudian ibu penjaga warung datang membawa sepiring nasi goring dan segelas es teh manis. Sambil menyodorkan makanan serta minuman ibu penjaga warung duduk berhadapan dengan yose,
Akupun makan, sambilmakan itupun ibu ini membuka pembicaraan
“saya sebenarnya tidak tahu, kamu lapar apa tidak” terang ibu penjaga warung langsung
“iya buk, saya juga bingung ibu tiba-tiba mamggil”
“saya tambah bingung saat ibu tiba-tiba menanyakan saya lapar atau tidak” jelas yose
“ada apa sebenarnya buk?” tanyanya kembali heran
“itu isyarat nak, agar kau tidak terlalu lama memperhatikan kakek pengemis dihalte itu” jawab ibuk
Yose dan ibu penjaga warung itu kemudian kompak melihat kea rah kakek pengemis dihalte. Dilihat Masih tetap, seperti tadi, kakek renta itu mengemis, menadahkan tangan sesekali melempar bunga dan kembang kejalanan
“siapa kakek itu?” Tanya yose
“dia pengemis biasa, telah lama mengemis didaerah ini”
“Lalu kenapa dia mengemis sambil menangis sepanjang waktu”
“menaburkan bunga juga kejalanan” Tanya yose keheranan
“dia belum bisa menerima kenyataan” jawab ibuk singkat
“kenyataan bagaimana?”
“kenyataan tentang takdir cintanya”
“Maksudnya buk?”
“seminggu yang lalu, dia bersama istrinya mengemis didepan halte, lalu mereka berdua ditabrak lari oleh orang tak dikenal”
“Lalu?”
“istrinya mati ditempat, kakek itu hanya dilarikan ke rumah sakit, sudah tiga hari ini kakek itu menangis tersedu-sedu”
“bagaimana dengan orang yang menabranya?”
“kabar terbaru, pelaku penabrakan sudah tertangkap, dan diyakini penkomsumsi berat obat-obatan”
“kakek itu, ! Apa tidak ada orang yang peduli?”
“sudah banyak orang yang bersimpati menolongnya, tapi sulit memang kalau yang sakit adalah hatinya bukan raganya” jelas ibu
“sampai kapan mau seperti itu?”
“istrinya memang mustahil hidup kembali, namun itu cara orang kehilangan sebenarnya, semoga saja dia tidak shock berat” jelas ibu kembali
Mendengar penjelasan ibu penjaga warung membuat yose mengehntikan sejenak makannya, pandanganya tak mampu melihat kakek itu, namun fikirannya tak henti melihat sakit yang dirasa kakek renta pengemis itu.
“Kuatkanlah hatimu nak” ibu itu kembali bicara melihatku termenung
“maksudnya buk?” Tanya yose
“kau sudah lihat sendiri derita kakek pengemis kan? Jangan main-main punya istri kelak”
“seandainya aku seperti kakek itu, sekarang mungkin tak akan siap buk!”
“berat memang, tapi pantang jadi pecundang nak” lugas ibu
“caranya?”
“bila kau kelak punya wanita, cintailah sekuat dan sekedarnya,” terang ibu
“bukannya sepenuh hati”
“tak boleh”
“mengapa?”
“wanitamu seratus persen masih milik tuhan”
“Lalu?”
“Tuhan akan mengambilnya kapan waktu yang akan dia kehendaki, tanpa persetujuanmu”
Yose termenung, memikirkan betapa beratnya hati bila dihadapkan pada kenyataan yang ibu penjual tadi katakana
“Nak” tegur ibu
“i..iiya bu” jawab yose terkejut
“Tak usah termenung terlalu lama” bicara ibu sambil tesenyum
“kakek pengemis itu sudah cukup jadi contoh, jalani saja alur tuhan”
“siap buk, saya akan usahakan” jawab yose singkat, sambil menyodorkan uang makan dan minumnya.
Setelah membayar, yose perlahan keluar dari warung, dia sempatkan melihat lagi kakek pengemis itu, kemudian dia jalan ke arah yang berlawanan.
Halte Kakek Renta
read more
0 comments:
Post a Comment