1. Seberapa banyak harapan yang kau tumpuk? hai perempuan penumpuk harapan.
Tahu kah kau, sudah berapa banyak harapan yang kau tumpuk dan kau biarkan berkelana, berkembang dalam dimensimu? Bisakah kau hitung harapan demi harapan itu? Sungguh, sangat banyak bukan? bahkan kau tak tahu lagi harus kau apakan harapan itu ditengah kebingunganmu akan rasamu sendiri yang terlanjur berkembang dalam dimensimu. Harus kau apakan?
Inayah Leuchtenden
Jika menumpuk harapan membuatmu bisa merasakan artinya perjuangan. Kenapa tidak kau biarkan saja harapan itu terus tertumpuk? Bukankah gudang penumpuk harapan itu sangat luas? Lebih luas dari yang pernah kau bayangkan sebelumnya. Buktinya, sekian banyak harapan masih saja kau genggam dan kau tambah lagi dengan harapan baru meski entah kapan perwujudannya. Tak pernah penuh? Ya, ataukah kau terlalu serakah menginginkannya. Ah, tidak. Tidak ada salahnya, menginginkan dia dan menjadikannya harapan teramat yang sangat kau inginkan.
Sebanyak banyaknya harapan, masih banyak ruang tuk menyimpannya. Karena sejatinya hati tak kan pernah penuh selama kau tak menstimulus diri untuk mematahkan dan membuang harapan itu.
Bukankah seperti itu?
2. Sampai kapan kau bertahan? hai perempuan penumpuk harapan.
Seandainya dia bertanya padamu, sampai kapan kau bertahan dalam harapan yang kau tumpuk sendiri? Kau akan menjawab apa? Haruskah kau jujur akan sekian tumpuk harapan yang tak membuatmu lelah. Haruskah kau jujur saat kau pernah ingin menyerah dan berhenti menumpuk harapan itu, justru harapan yang lebih besar datang dan membuatmu semakin mengembangkan persepsimu sendiri yang sejatinya belum tentu sesuai dengan kenyatannya. Beruntungnya, ia tak pernah menanyakan hal itu bukan? jangankan bertanya, ia mungkin tak tahu seberapa lama dan seberapa keras kau berjuang mengumpulkan harapan itu. Jika saja kau mematahkannya dan membuangnya lantas segera menghapus jejaknya diawal, kau mungkin tak sekeras ini berjuang melawan logika dan perasaanmu sendiri. Logika yang mematahkan dan menyalahkan sikapmu, sedang hati yang terus memacu dan membenarkan tindakanmu yang bisa jadi terlihat bodoh didepan sahabat yang tahu seberapa lama kau menumpuk harapanmu sendiri.
Kamu bahkan tidak tahu seberapa lama kau mampu bertahan dalam dimensi yang kau buat sendiri. Bagimu, terjebak dalam dimensi itu adalah sebuah anugerah, ya, hatimu yang membenarkan. Lantas biarlah kau mengaguminya dalam dimensi yang teramat besar dengan banyaknya harapan yang menumpuk, yang mungkin jua tak kan pernah kau tahu seberapa banyak detik yang kau habiskan hanya untuk berputar dalam dimensi yang ia tak tahu keberadaannya. Kau bahkan tak bisa keluar bukan? masih terkurung dalam jerujinya, masih terhuyang dalam gelapnya, masih terdiam dalam kebisuannya, masih bertanya dalam keambiguannya. Kamu bisa apa? Pengusiranpun tak mempan membuyarkan bayang semunya. Pernah kah kau berpikir apakah dia mengenalmu? ataukah kau hanya orang asing baginya. Kau mungkin sudah gila, atau amnesia hingga tak tau jalan keluar, tak tau cara untuk terbebas dari jerujinya, tak tau cara terbebas dari gelapnya, tak tahu cara mengungkap kebisuan dan keambiguannya. Ah, kau memang sudah gila dibuatnya.
Inayah Leuchtenden
3. Siapkah kau menelan mentah semua kemungkinan yang kau dapatkan esok hari? hai perempuan penumpuk harapan.
Kamu harus siap dengan semua kemungkinan yang kamu dapatkan. Kamu pasti sangat mengingat bagaimana kamu memulai menumpuk satu persatu harapan, menjadi bumbu pelengkap harimu, yang terkadang membuatmu semangat dan senyum sendiri saat menafsirkan apa yang sebenarnya belum tentu sesuai dengan penafsiranmu sendiri. Bak translator yang kehilangan landasan teory, tak berlandasan pun tetap jalan dan membuatmu hidup dalam harapan harapan yang kau buat dengan persepsimu.
Apapun yang kau dapatkan nantinya, percayalah itu yang terbaik untuk kehidupanmu. Jika kamu merasa harus berhasil dalam semua hal yang kau harapkan, apa gunanya tercipta kegagalan. Kalaupun hasil akhirnya kau berhasil, satu hal yang harus kau ingat bahwa perjuanganmu menggenggam harapan itu tidak mudah, genggam erat dan jangan biarkan ia terlepas dari genggamanmu. Jika pun sebaliknya, tugasmu hanya bersabar dan percaya pada ketetapan takdir yang telah digariskan untukmu. Hempaskan semua harapan yang telah kau tumpuk, meski itu sangat berat pada awalnya. Bagai bangunan yang disusun ribuan bahkan jutaan batu bata, tidak semudah itu dirobohkan. Tapi bukan berarti tak bisa roboh kan? Hanya saja butuh waktu untuk merobohkan dan menerima semuanya. Dan kau harus ikhlas dengan ketentuannya. Terima aturan mainnya.
Sebenarnya sederhana jika kau mampu mengubah persepsimu seketika itu jua. Matikan alarm pemberitahuan yang tertuju padanya. Hentikan semua akses yang membantumu menumpuk harapan untuknya. Dan katakan pada dirimu sendiri untuk berheti di detik itu jua. Dan akan menjadi rumit, jika kau terus membodohi dan membiarkan dirimu sendiri terus terkurung dalam jerujinya sedang ia telah menawarkan kunci pembuka untukmu, meski itu untuk pintu keluar dijalur yang berbeda, bukan jalur keluar tuk menemuinya. Keluarlah, kan kau dapati persimpangan baru di jalur yang baru saja kau tempuh. Tentunya untuk ia yang lebih baik dari dia yang sebelumnya kau harapkan.
Inayah Leuchtenden
4. Hai perempuan penumpuk harapan, kau luar biasa!
Megapa kau menjadi luar biasa?
Bagaimana tidak, terbayang semua perjuanganmu menumpuk harapan. Terbayang semua bagaiamana kamu menyeimbangkan pertentangan dalam dirimu sendiri. Terbayang bagaimana kamu berusaha menetralkan perasaanmu, tanpa pernah bisa melakukannya.
Kamu tahu artinya proses? Ya, proses yang tanpa kau sadari, kau telah berusaha menjadi dewasa. Satu pelajaran berharga dari perjalanan panjangmu bahwa kau telah berhasil melakukan hal besar yang hanya sedikit orang yang mampu melakukannya. Kamu tahu apa itu? Sabar. Iya, sabar. Tak semua orang bisa melakukannya. Sedang kamu, lihatlah. Bahkan saat terakhir kau memutuskan untuk tetap bertahan ataukah berhenti mengumpulkan harapan, saat itu jua kamu masih berjuang dan tiada henti bersabar untuk menolak logikamu sendiri.
Jika saja kau menyadari semua yang telah kau lakukan bernilai, kau tak kan menjumpai penyesalan pada titik akhir, justru kau akan banyak bersyukur karna telah memulai. Disana kau kan dapati sekian banyak pelajaran, tentang bagaimana kau harus berjuang, bagaimana kau harus mengembangkan imajinasimu sendiri dalam dimensi khayalmu, bagaimana kau berusaha keras berperang melawan logikamu yang tak mau lumpuh, bagaimana kau mampu untuk terus bertahan dalam gempuran prasangka yang tertututpi oleh kenikmatan bayangan semu, dan pada akhirnya bagaimana kamu melumpuhkan hatimu sendiri saat kenyataan tak sesuai dengan inginmu. Sungguh, kau luar biasa.
Inayah Leuchtenden
5. Hai perempuan penumpuk harapan, pada akhirnya…
Dan pada akhirnya…
Kamu kan dapati pelajaran yang paling berharga, bahwa sejatinya bukan tentang seberapa banyak harapan yang kau tumpukkan, seberapa lama kau meumpuk harapan itu, seberapa kuat kau bertahan dalam harapan yang kau susun sendiri. Tapi, kenyataannya adalah seberapa kuat kau membumbungkan harapan itu dalam lantunan doamu, bukankah doa mejadi satu satunya tempat mahabbah bagi dua insan yang saling mengharapkan?
Mungkin itu letak kesalahanmu dari awal memulai, kau tak meminta restu pada sang pemilik hati. bahkan mungkin jua kau lupa mengikatnya dalam doa doa panjangmu.
Ah, sudahlah, ikhlaskan…
Kau harus belajar bagaimana cara menumpuk harapan yang sebenarnya. Karena sejatinya harapan yang kokoh mempunyai satu inti, doa yang digencarkan pada Dia sang pemilik hati.
Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang, maka Dia timpakan keatasmu pedihnya pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Dia sangat mencemburui hati yang berharap pada selain Dia. Maka Dia menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepadaNya.
Imam Syafii
Untukmu, Perempuan Penumpuk Harapan. Jangan Korbankan Perasaanmu.
read more
0 comments:
Post a Comment